(Foto: Istimewa)
Penulis: Aysha Salsabila
Editor: Donni Andriawan S
bogorprioritas.com – Pengusaha ritel, pengusaha kelontong hingga pedagang pasar ramai-ramai menolak aturan soal pelarangan menjual rokok eceran dan zonasi penjualan rokok dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Kesehatan atau PP Kesehatan.
Aturan mengenai larangan menjual rokok eceran per batang dan zonasi penjualan 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak tersebut dimuat dalam Pasal 434 ayat (1) huruf C dan huruf E.
Adanya aturan tersebut dinilai para pengusaha dan pedagang pasar merugikan bisnis Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) hingga ritel modern.
Menurut Ketua Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah, aturan yang memuat larangan menjual rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak akan menurunkan pendapatan sekitar Rp 21 triliun per tahun.
“Jadi, penjualan rokok di kami itu 15 persen dari total penjualan ritel modern untuk yang sektor supermarket, minimarket, itu bisa mencapai Rp 40 triliun penjualan rokok nasional di ritel modern. Kalau zonasi ini dijalankan berarti kehilangan pendapatan Rp 21 triliun. Ini angka yang besar sekali,” kata Budihardjo dalam diskusi bertajuk Polemik Larangan Penjualan Rokok di PP Nomor 28 Tahun 2024 di Jakarta, Selasa (13/8/2024).
Ia menuturkan, pemberlakuan aturan itu juga akan mengganggu rantai pasok mulai dari pabrik, distributor hingga sales promotion girl (SPG).
“Ini gede loh untuk pajaknya juga,” ujar Budiharjo.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Herninta Defayanti mengatakan, beleid yang salah satunya memuat tentang larangan menjual rokok secara eceren membuat omzet pedagang pasar anjlok hingga 30 persen.
Dikatakannya, rokok merupakan salah satu produk yang cepat terjual bahkan menjadi penopang utama omzet mereka.
Oleh karena itu, pihaknya mendorong pemerintah untuk meninjau ulang PP Nomor 28 Tahun 2024 tersebut.
“Terkait polemik PP Kesehatan utamanya Pasal 434 tentang penjualan rokok eceren menjadi pukulan keras bagi pedagang pasar yang mengeluhkan penurunan omzet hingga 30 pesen. Rokok itu produk yang fast moving dan menjadi penopang omzet. Sehingga menurut kami aturan yang mengenai penjualan rokok secara eceren perlu ditinjau ulang,” ucap Herninta.
Senada dengan APPSI, Ketua Perkumpulan Pengusaha Kelontong Seluruh Indonesia (Perpeksi) Junaidi turut menyuarakan keberatannya.
Perpeksi, imbuhnya, tidak sepakat dengan aturan larangan menjual rokok dalam radius 200 meter di area pendidikan.
Pasalnya, warung-warung yang menjual rokok di area sekolah sudah berdiri sejak dulu. Selain itu, kata dia, pembeli yang membeli rokok eceran adalah orang dewasa yang menyesuaikan dengan kondisi keuangan mereka.
“Saya rasa ini sangat tidak demokratis karena orang beli rokok itu kan menyesuaikan dengan isi dompet, ini tidak berlaku hanya untuk anak-anak sekolah, orang dewasa juga dan ini sangat-sangat merugikan,” kata Junaidi.
“PP tersebut nantinya sangat berdampak bagi pelaku usaha warung kelontongan. Selain itu tidak hanya kami yang terkena dampaknya pedagang asongan yang jual eceran rokok bernasib yang sama dengan kami,” lanjut Junaidi.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo resmi menandatangani PP Nomor 28 Tahun 2024. Dalam aturan tersebut terdapat pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Aturan mengenai larangan warga menjual rokok eceran per batang dimuat dalam PP Nomor 28 Tahun 2024 pasal 434 ayat (1) huruf E.
Selain itu, aturan tersebut juga melarang penjualan secara eceran satuan per batang, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik.